
Oleh: Imron Rosyadi
Mata Mudik
Pandanganku sudah terlalu rabun untuk menatap
kata-kata tak bertuan: hilir-mudik mencari gang-gang pulang.
Barangkali rumahnya buku yang siap rapuh
oleh waktu: debu-debu lupa seperti kekasih amnesia, hanya
mencintai satu bulan dan sering berganti
warna dari merah, hijau, jingga, hingga luka.
Entah apa percis warnanya, mataku sudah buta warna.
Sedang, mata mudik buta rasa
tak dapat membedakan antara ruang atau jurang.
Mata Mudik II
Dari lamanya hari, yang kurindu gagang kacamatamu, Mak
: kekasih yang setia dengan kantung mata,
bukti kenangan dan kasih bermula.
Kesetiaanmu seperti apa Mak,
apakah seperti gedung Belanda yang setia dengan nostalgia?
Karena sering kusaksikan doa-doamu menjelma
burung-burung dara terbang ke segala arah.
Mata Mudik III
Segala rumah adalah muara rindu
Setiap lelah ingin segera direbah
Telah kukemas namamu di antara baju-baju
Yang dilipat rapi, yang diingat nyeri.
Akan aku bawa pulang, mungkin akan dikenang.
Di rumah akan ku pajang namamu di dinding siang: radang luka paling kasih
bagi burung-burung berburu makan.
Saat sampai nanti, akan kukabari: rumah adalah sarang bagi segala rindu, kesan, dan kasih
yang hampir gersang. Seperti sembahyang,
pulang perlu segera ditunaikan.
Sebelum maksud mengharapkan sambut
Sebelum kata menghanguskan makna.
2021
Dieng
Di dataran tinggi ini, puncak kasih dewa-dewi
kahyangan mangaribi atma yang selalu gagah
menghadapi duka dunia: jiwa yang mampu menahan perih
dibohongi, jawaban telah alpa tak tergerai oleh pinus dan purnama.
Sepanjang jalan bertepi jurang, meyusuri lika-liku luka.
Sampai di tempat ini, mesti dalam keadaan bersih
telanjang dosa, dan hati yang tak
Keruh oleh segala ingatan tak perlu untuk
Mencapai kemurnian diri
Tapi tak ada ayat,
Suhu minus derajat
Sebagai pengingat,
Segala doa memucat dan usia lekas tamat.
Tandai janji pada setiap almanak untuk kemari
tempat melepas letih, mengkhatamkan kenangan usang
di hadapan tuhan yang sedang bertapa
: muara luka dan penawarnya.
Meski kita akan kembali, pada pengkhianatan yang dini.
2021

Imron Rosyadi, pegiat sastra di Kabupaten Brebes. Karya-karyanya bertengger di rak-rak buku bersama satrawan lainnya. Lulusan UIN Syarif Hudayatullah.