Telaga Ranjeng, Cagar Alam di Kaki Gunung Slamet Ini Dikeramatkan

Pariwisata Sejarah
Seorang pengunjung memberi makan ikan di Telaga Ranjeng yang berada di Desa Pandansari, Paguyangan. (foto: Istimewa)

BREBES, gugah.id – Telaga Ranjeng ditetapkan seorang Gubernur Hindia Belanda di tahun 1925 sebagai cagar alam. Telaga ini berada di kaki Gunung Slamet, tepatnya di Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan Kabupaten Brebes.

Kini Telaga Ranjeng dikelola oleh Perhutani Pekalongan Timur. Telaga Ranjeng berada di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.

Sejarawan asal Kabupaten Brebes, Wijanarto mengatakan, Telaga Ranjeng memiliki luas 18,5 hektar. Lokasinya yang dikelilingi hutan lindung seluas 51 hektar dan didominasi oleh pohon pinus dan pohon damar membuat Telaga Ranjeng terasa sejuk.

“Setelah Telaga Ranjeng tahun 1925 telah ditetapkan sebagai cagar alam oleh seorang Gubernur Hindia Belanda, di tahun 2004 telaga ini ditetapkan kembali oleh Menteri Kehutanan sebagai cagar alam,” kata Wijanarto, Minggu (6/11/2021).

Wijanarto menjabat sebagai Kepala Bidang Kebudayaan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dinbudpar) Brebes, juga menambahkan, Telaga Ranjeng memiliki keindahan alam yang sangat eksotis.

“Bentang alam Telaga Ranjeng,  tidak hanya terdapat kekayaan fauna saja. Akan tetapi terdapat juga floranya. Bahkan, hasil penelitian, di tempat itu memiliki 40 spesies tanaman, dan 23 spesies fauna atau hewan,” tambahnya.

Ratusan ikan di Telaga Ranjeng menghampiri pengunjung yang memberi makan berupa roti. (foto: Istimewa)

Wijanarto menjelaskan, dari penuturan masyarakat Desa Pandansari, Telaga Ranjeng memiliki ekologi kebudayaan yang menarik. Telaga Ranjeng tidak hanya sebagai cagar alam, tetapi juga sebagai rana ibu kebudayaan yang oleh masyarakat Desa Pandansari sangat dihormati. Ini karena adanya mitologi yang berkembang hingga saat ini terkait mitos ikan lele yang menjadi ikon dari Telaga Ranjeng.

“Warga setempat meyakini di sana ikan Lele di tempat itu telah menjadi dampyak makhluk halus, mulai dari Ratu Wanora yang berwujud kera putih, ular berkepala manusia,  dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Bahkan, sejak puluhan tahun silam, di Telaga Ranjeng ada ikan lele yang jumlahnya mencapai ribuan bahkan jutaan. Namun  Wijanarto menerangkan, sejak tahun 2008 yang lalu ikan lele mengalami penurunan. Namun kini, secara kasat mata sering muncul ikan jenis lain, seperti ikan mas dan ikan klaper yang bentuknya seperti ikan mujaher.

“Ada beberapa hal yang menjadi penurunan ikan lele tersebut, yaitu satu ikan lele bersifat kanibal atau pemakan sesama, adanya proses migrasi ke daerah lainnya,” ucapnya.

Tempat ini dipercaya adanya larangan bagi pengunjung di Telaga Ranjeng untuk tidak memperlakukan ikan ikan secara tidak pantas. Apalagi sampai mengambilnya untuk dibawa pulang.

“Menurut mitos warga di situ, pamali bagi pengunjung mengambil ikan. Pernah ada pengunjung mengambil ikan dan memegangnya. Kemudaian ikan tersebut dilempar lagi ke dalam air telaga, sampai rumah pengunjung itu mimpi buruk,” tuturnya

“Ada juga pengunjung yang mengambil ikan dan membawanya pulang untuk dimasak. Menurut cerita warga, orang tersebut akhirnya mendapatkan musibah yang berakibat fatal,” tandasnya. (mah)

Leave a Reply